11 Desember 2024

Medan (Wartadhana): Kasus suap kader PKS Gatot Pujonugroho selaku Gubernur Sumatera Utara pada periode 2011 – 2014 yang lalu sesungguhnya telah menyeret semua kader partai yang duduk di DPRD Sumut terutama periode 2009 – 2014.

Demikian ditegaskan Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Sumut Mangapul Purba kepada wartawan di Gedung DPRD Sumut, Rabu (5/2).

Lebiha lanjut dijelaskannya, dari sisi hukum tentu kita harus menghormati dan mengikuti semua proses hukum tersebut, yang bersalah ya harus terima mendapatkan hukum.

“Dari sisi politik tentu berbeda, bahwa Gatot Pujonugroho sebagai Gubsu yang memberi suap saat itu merupakan karer PKS, Ketua DPRD Kader Golkar, Wakil-wakil Ketua DPRD dari PKS, PAN, PDI Perjuangan dan Hanura semuanya sudah di vonis KPK,” jelas Mangapul.

Mangapul yang juga merupakan Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan Sumut mengatakan, bahwa seluruh ketua-ketua Fraksi di DPRD Sumut pada periode itu juga telah ditetapkan tersangka dan sudah jatuh vonis. Itu artinya, semua partai terseret kasus suap Gatot tidak hanya satu partai saja.

Namun, menurut Mangapul masih ada yang janggal. Bahwa KPK belum maksimal menyentuh semua pihak, terutama eksekutif dan pemberi dana suap.

“KPK jangan hanya fokus kepada legislatif dalam kasus suap kader PKS itu, semua pihak yang terlibat dalam kasus suap itu harus turut di proses hukum, yaitu eksekutif dan termasuk yang memberikan dana,” tegas Mangapul

Dikatakannya, ada 100 anggota DPRD, dalam tuduhannya menerima suap 200 juta hingga 300 juta, bahkan para pimpinan dewan menerima lebih dari itu, berarti secara kumulatif ada dana sekitar 30 M untuk menyuap anggota DPRD.

“Berarti ada orang yang tak sembarangan dan kuat untuk menyokong dana tersebut, maka menurut saya KPK harus mengusut siapa-siapa saja penyokong dana suap itu,” tandas Mangapul.

Mangapul meminta agar ada perimbangan dalam penanganan kasus ini, sebab dari pihak legislatif dalam hal ini DPRD Sumut sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan sudah ada yang menjalani hukuman.

Artinya, kita minta tidak hanya dari DPRD saja yang diproses hukum, tapi yang melakukan komunikasi juga, dimana kepala dinas-kepala dinas pada saat itu (pihak eksekutif) nya harus diperiksa dan dikenakan hukuman, karena ini kesalahan kolektif.

“Tentu harus ditelusuri semua dong, supaya semua clear, sehingga aspek hukumnya berjalan dengan baik. Yang melakukan upaya pemberian gratifikasi juga dihukum,” ujarnya.

Diungkapkan Mangapul, ada trias politika yang diatur dalam undang-undang, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

“Apakah eksekutif bisa berdiri sendiri, tidak toh. Apakah DPRD ini ujuk-ujuk datang gratifikasi, tidak toh. Kemudian apakah ketika tidak ada sebuah kesalahan atau kejanggalan dipihak eksekutif, hak interplasi itu yang harus ditakutkan, tidak toh. Maka rumusnya adalah ketika ada asap pasti ada api,” kata Mangapul.

Artinya sebut Mangapul, ketika ada interplasi, muncul ketakutan, ada upaya membangun konsensus, kemudian ada upaya-upaya mencari jalan tengah, maka muncul kasus ini.

Dijelaskan Mangapul bahwa kasus hukum yang menjerat mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho, yang menjadi objek penegakan hukum pertama dipihak legislatif (DPRD Sumut) dan hal itu merupakan kesalahan kolektif.

“Biarlah ini menjadi pembelajaran bagi kita, menjadi cermin menatap masa depan bagi legislatif di Sumut,” katanya.

Lembaga legislatif harus terus diselamatkan, karena dalam sistem politik presidential dan demokrasi terbuka ini, legisltaif masih satu-satunya lembaga perwakilan rakyat untuk memperjuangkan aspirasi terhadap hajat hidulnya, pungkas Mangapul. ( Winda/rel)